بسم الله الرحمن
الرحيم
فَاصْدَعْ بِمَا
تُؤْمَرُ وَأَعْرِضْ عَنِ الْمُشْرِكِينَ
إِنَّا كَفَيْنَاكَ الْمُسْتَهْزِئِينَ
الَّذِينَ
يَجْعَلُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ فَسَوْفَ يَعْلَمُونَ
Surat Al-Hijr merupakan surat yang ke 15, terdiri dari 99 ayat. Al-Hijr
berarti “Batu Besar” atau “Batu Gunung”. Dia pun menjadi nama dari negeri
kediaman kaum Tsamud yang didatangi oleh Nabi Shalih AS, satu di antara
nabi-nabi yang dibangkitkan di kalangan bangsa Arab. Disebut tempat tinggal
kamu Tsamud itu dengan al-Hijr, karena negeri mereka terjadi dari lembah-lembah
dan gunung-gunung batu. Tetapi mereka mempunyai kepintaran membangun
rumah-rumah dan gedung-gedung yang indah megah, yang dapat mempertalikan
bukit-bukit dengan lembah, dan dapat memahat batu-batu gunung itu untuk
bangunan.[1]
Pada ayat ke-94 berbunyi yang artinya “Maka sampaikanlah secara
terang-terangan segala apa yang diperintahkan dan berpalinglah dari orang-orang
musyrik”.
Ibnu Abbas berkata, “Ayat Tentang فَاصْدَعْ بِمَا تُؤْمَرُ ‘Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang
diperientahkan (kepadamu)’, maknanya adalah, tindak lanjuti apa yang
diperintahkan kepadamu.”[2]
Ibnu Al A’rabi berkata, “Makna اِصْدَعْ بِمَا تُؤْمَرُ ‘Sampaikanlah
olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu),’
adalah sasarlah. Dikatakan فَاصْدَعْ
بِمَا تُؤْمَرُ “Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang
diperintahkan (kepadamu),” maksudnya,
pencarkan persekutuan dan kesatuan mereka dengan menyerukan kepada tauhid,
sesungguhnya mereka itu terpecah-pecah dengan sebagian yang menyambut”.[3]
Firman Allah : وَأَعْرِضْ
عَنِ المُشْرِكِيْنَ “Dan berpalinglah dari orang-orang musyrik”. Tentang ayat
yang mulia ini, ada dua pendapat yang masyhur di kalangan ulama :
Pertama, makna ayat ini
adalah jangan pedulikan pendustaan dan olok-olok mereka serta jangan pula hal
itu menyusahkanmu, sesungguhnya Allah yang menjagamu dari mereka. Jadi makna
ayat menurut penakwilan ini adalah sampaikanlah secara terang-terangan apa yang
diperintahkan kepadamu, yakni sampaikanlah risalah Tuhanmu dan berpalinglah
dari orang-orang musyrik, yakni jangan pedulikan dan takut kepada mereka. Makna
ini adalah seperti halnya firman Allah :
يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ
وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ وَاللَّهُ يَعْصِمُكَ مِنَ
النَّاسِ
Artinya : “Hai rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan Tuhanmu
kepadamu. Jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu
tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia” (QS.
Al Maidah ; 67)
Kedua, bahwa
Nabi SAW pada mulanya diperintahkan untuk berpaling dari orang-orang musyrik,
kemudian perintah itu dihapus dengan ayat-ayat perang. Diantara ayat-ayat yang
menunjukkan hal itu adalah firman-Nya
اتَّبِعْ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ لا إِلَهَ إِلا هُوَ
وَأَعْرِضْ عَنِ الْمُشْرِكِينَ
“Ikutilah apa yang telah diwahyukan kepadamu dari Tuhanmu ; tidak
ada Tuhan selain Dia; dan berkadpalinglah dari orang-orang musyrik” (QS. Al-An’am ; 106), dan firman-Nya
فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ وَانْتَظِرْ إِنَّهُمْ مُنْتَظِرُونَ
“Maka berpalinglah kamu dari mereka dan tunggulah, sesungguhnya
mereka (juga)menunggu” (QS.
As-Sajdah ; 30), dan firman-Nya
فَأَعْرِضْ عَنْ مَنْ تَوَلَّى عَنْ ذِكْرِنَا وَلَمْ يُرِدْ إِلا
الْحَيَاةَ الدُّنْيَا
“Maka berpalinglah (Hai Muhammad) dari orang-orang yang berpaling
dari peringatan Kami dan tidak mengingini kecuali kehidupan dunia” (QS. An-Najm ; 29), dan masih banyak lagi ayat-ayat
lainnya.[4]
Pada ayat ke 95 yang artinya, “Sesungguhnya Kami memelihara
kamu dari (kejahatan) orang-orang yang memperolok-olok (kamu)”. Allah
terangkan dalam ayat yang mulia ini, Dia memelihara Nabi-Nya dari orang-orang
yang memperolok-oloknya, yaitu kaum Quraisy. Di tempat lain disebutkan kalau
Allah juga menjaganya dari selain mereka, seperti firman-Nya tentang Ahli
Kitab, فَسَيَكْفِيْكَهُمُ اللهُ “Maka
Allah akan memelihara kamu dari mereka.” (QS. Al-Baqarah : 137), dan
firman-Nya ألَيْسَ
اللهُ بِكَافٍ عَبْدَهُ “Bukankah Allah cukup untuk melindungi hamba-Nya.”
(QS. Az-Zumar : 36), dan ayat-ayat lainnya.[5]
Pada ayat ke 96 yang artinya ,”(Yaitu) orang-orang yang
menganggap adanya tuhan yang lain disamping Allah; maka mereka kelak akan
mengetahui (akibat-akibatnya)”. Ini adalah ancaman Allah kepada orang-orang
yang mengolok-olok, karena Allah telah mengabarkan kepada Nabi-Nya bahwa Dia
melindungi beliau dari kejahatan mereka, “Kami telah melindungimu, wahai
Muhammad, dari orang-orang yang mengolok-olokmu, dan menjadikan sekutu bagi
Allah dalam ibadah kepada-Nya. Kelak mereka mengetahui adzab Allah yang mereka
terima saat kembali kepada-Nya pada Hari Kiamat, serta bencana yang menimpa
mereka”.[6]
Dari penjelasan beberapa tafsir yang dikutip di buku-buku tafsir
yang ada, dapat disimpulkan bahwa surat Al-Hijr ayat 94-96 ini membahas tentang
dakwah Nabi secara terang-terangan dan jaminan perlindungan Allah terhadap
dakwah secara terang-terangan yang dilakukan oleh Nabi. Sebelum ayat ini turun,
Nabi SAW berdakwah secara sembunyi-sembunyi, yang dilakukan kepada keluarganya
dan orang-orang terdekatnya saja. Karena jika Nabi langsung berdakwah secara
terang-terangan (yang pada waktu itu notabene lebih banyak orang kafirnya) maka
dakwahnya akan langsung dihabisi oleh para orang kafir tersebut. Untuk menjaga
keselamatan dirinya, maka Nabi melakukan syi’ar Islamnya secara
sembunyi-sembunyi. Namun, setelah ayat ini turun, maka Nabi langsung melakukan
dakwahnya secara terang-terangan. Nabi SAW berani melakukan dakwah secara
terang-terangan karena Allah sudah menjamin keselamatan dirinya selama
berdakwah.
Dalam
surat al-Hijr ayat 94-96 ini dijelaskan tentang kewajiban yang ditujukan untuk
Nabi Muhammad SAW. Walaupun dalam konteks nya kewajiban itu ditujukan kepada
Nabi, tetapi dalam pelaksanaannya bukan hanya Nabi saja yang berkewajiban untuk
mensyi’arkan Islam, melainkan seluruh ummat Islam pun berkewajiban untuk
berdakwah mensyi’arkan agama Allah ini. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT
:
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ
بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ
آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ
وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh
kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.
Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara
mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang
fasik” (QS. Al-Imran : 110)
Dari ayat diatas, telah jelas bahwa umat Islam adalah umat yang terbaik.
Maka dari itu umat Islam harus menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari
yang munkar. Artinya, setiap muslim itu hendaknya saling mengingatkan untuk
saling berbuat kebaikan dan mencegah dari perbuatan yang buruk. Jika kita belum
sanggup untuk mengingatkan kepada orang lain, minimal sekali kita harus bisa
mengingatkan diri kita sendiri untuk dapat selalu berbuat kebaikan dan sebisa
mungkin tidak melakukan apa yang telah dilarang oleh Allah SWT. Jika kita bisa
mengendalikan diri kita untuk dapat selalu berbuat kebaikan, maka otomatis kita
akan dapat menjadi contoh bagi orang-orang terdekat kita untuk dapat melakukan
hal yang serupa. Dan akhirnya orang-orang yang terdekat kita pun ikut melakukan
hal-hal kebaikan juga. Dan secara tidak langsung pun kita sudah mensyi’arkan
ajaran Islam kepada orang lain. Janganlah takut untuk berdakwah mengingatkan
kebaikan dan melarang kepada keburukan, karena Allah telah menjamin umatnya
yang menolong agama-Nya. Seperti dalam firman Allah SWT,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ
يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong
(agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (QS. Muhammad : 7)
Dalam ayat diatas diterangkan bahwa barangsiapa orang mukmin yang
menolong agama Allah, niscaya Allah akan menolongnya. Ini menunjukkan bahwa
barangsiapa yang berani mensyi’arkan agama Allah, maka Allah pun tidak
segan-segan untuk menolong hamba-Nya.
[1] Hamka,
Tafsir Al-Azhar, (Jakarta ; PT. Pustaka Panjimas), hal 168
[2] Ali bin
Abi Thalhah, Tafsir Ibnu Abbas, (Jakarta ; Pustaka azzam, 2009), hal 463
[3] Syaikh
Imam Al Qurthubi, Tafsir Al Qurthubi (Jakarta ; pustaka azzam, 2008), hal 150
[4] Syaikh
Asy-Syanqithi, Tafsir Adhwa’ul Bayan (tasir Al Qur’an dengan Al Qur’an),
(Jakarta ; Pustaka Azzam, 2007), hal 333
[5] Ibid,
hal 334
[6] Abu
Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari, hal 947
Tidak ada komentar:
Posting Komentar